Catatan dari orang kecil

support

19 Feb 2016

Al Rahn dan dasar hukumnya dalam Islam

Al-Rahn secara bahasa artinya bisa al-Tsubût dan al-Dawâm (tetap), dikatakan, “mâun râhinun (air yang diam, menggenang, tidak mengalir),” “hâlatun râhinatun (keadaan yang tetap), atau ada kalanya  berarti al-Habsu dan al-Luzûm (menahan). sedangkan dalam istilah yang digunakan fikih untuk gadai adalah al-rahn, yaitu sebuah akad utang piutang yang disertai dengan jaminan (atau agunan).
Definisi al-rahn menurut jumhur ulama adalah sebagai berikut :
1.    Ulama Syafi’iyyah mendefinisikan akad al-rahnu sebagai berikut, menjadikan al-‘Ain (barang) sebagai watssiqah (jaminan) utang yang barang itu digunakan untuk membayar utang tersebut (al-marhun bihi) ketika pihak al-madîn (pihak yang berutang, al-râhin) tidak bisa membayar utang tersebut.
2.    Ulama Hambali mendefinisikan al-rahnu sebagai berikut, harta yang dijadikan sebagai watssiqah utang yang ketika pihak yang menanggung tidak bisa melunasinya, maka utang tersebut dibayar dengan menggunakan harga hasil penjualan harta yang dijadikan watssiqah tersebut.
3.    Ulama Malikiyah mendefinisikan al-rahn seperti berikut, sesuatu yang mutamawwal (berbentuk harta dan memiliki nilai) yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan watssiqah utang yang lâzim (keberadaanya sudah positif dan mengikat) atau yang akan menjadi lâzim. Menurut Malikiyah al-akhdzu (mengambil) di dalam definisi al-rahnu tadi yang dimaksud bukanlah penyerahan secara nyata dan konkrit karena menurut mereka, penyerahan secara nyata dan konkrit bukanlah termasuk syarat terbentuknya akad al-rahnu, bukan termasuk syarat sahnya dan juga bukan termasuk syarat upaya al-rahnu berlaku mengikat (lâzim).
Dari defenisi-defenisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan gadai (rahn) adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, dalam arti seluruh hutang atau sebagiannya dapat diambil sebab sudah ada barang jaminan tersebut, dan dapat dijadikan pembayaran hutang jika hutang itu tidak dapat dibayar.

gadai-nging

Dasar Hukum Al-Rahn
1.      Di dalam Al-Qur’an
Ayat yang dapat dijadikan dasar hukum perjanjian gadai adalah QS. Al-Baqarah ayat 283:
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u 3 Ÿwur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6tƒ ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOŠÎ=tæ ÇËÑÌÈ  
Artinya: “jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”.
Syaikh Muhammad ‘Ali As-Sayis mengungkapkan bahwa rahn dapat dilakukan ketika dua pihak yang bertransaksi sedang melakukan perjalanan (musafir), dan transaksi yang demikian ini harus dicatat dalam sebuah berita acara (ada orang yang menuliskannya)dan ada orang yang menjadi saksi terhadapnya. Bahkan beliau menganggap bahwa dengan rahn, prinsip kehati-hatian sebenarnya lebih terjamin ketimbang bukti tertulis ditambah dengan persaksian seseorang. Sekalipun demikian, penerima gadai (murtahin) juga dibolehkan tidak menerima barang jaminan (marhun) dari pemberi gadai (rahin) tidak akan menghindar dari kewajibannya. Sebab, substansi dalam peristiwa rahn adalah untuk menghindari kemudaratan yang diakibatkan oleh berkhianatnya salah satu pihak atau kedua belah pihak ketika keduanya melakukan transaksi utang-piutang.

2.      Di dalam Al-Sunnah
Dasar hukum yang kedua untuk dijadikan rujukan dalam membuat rumusan gadai syariah adalah hadits Nabi Muhammad saw, yang antara lain diungkapkan sebagai berikut.
1)   Hadits ‘Aisyah ra. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yang berbunyi:
“Telah meriwayatkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim Al-Hanzhali dan Ali bin Khasyram berkata: keduanya mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus bin ‘Amasy dari Ibrahim dari Aswad dari ‘Aisyah berkata: bahwasannya Rasulullah saw. Membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menggadaikan baju besinya.” (HR. Muslim)
2)   Hadits dari Anas bin Malik ra. yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang berbunyi:
“Telah meriwayatkan kepada kami Nashr bin Ali Al-Jahdami, ayahku telah meriwayatkan kepadaku, meriwayatkan kepada kami Hisyam bin Qatadah dari Anas berkata: Sungguh Rasulullah saw. menggadaikan baju besinyakepada seorang Yahudi di Madinah dan menukarnya dengan gandum untuk keluarganya.” (HR. Ibnu Majah)

3.      Pada Ijma’ Ulama
Jumhur Ulama menyepakati kebolehan status hukum gadai. Hal dimaksud, berdasarkan pada kisah Nabi Muhammad saw. yang menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan makanan dari seorang Yahudi. Para Ulama juga mengambil indikasi dari contoh Nabi Muhammad saw. tersebut, ketika beliau beralih dari yang biasanya bertransaksi kepada para sahabat yang kaya kepada seorang Yahudi, bahwa hal itu tidak lebih sebagai sikap Nabi Muhammad saw. yang tidak mau memberatkan para sahabat yang biasanya enggan mengambil ganti ataupun harga yang diberikan  oleh Nabi Muhammad saw. kepada mereka.

Al Rahn dan dasar hukumnya dalam Islam Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

0 komentar:

Posting Komentar

Komentarlah dengan bijak dan bahasa yang santun. NO SARA !