Al-Rahn secara bahasa
artinya bisa al-Tsubût dan al-Dawâm (tetap), dikatakan, “mâun
râhinun (air yang diam, menggenang, tidak mengalir),” “hâlatun râhinatun
(keadaan yang tetap), atau ada kalanya
berarti al-Habsu dan al-Luzûm (menahan). sedangkan dalam
istilah yang digunakan fikih untuk gadai adalah al-rahn, yaitu sebuah
akad utang piutang yang disertai dengan jaminan (atau agunan).
Definisi al-rahn menurut jumhur ulama adalah sebagai berikut
:
1.
Ulama Syafi’iyyah mendefinisikan akad al-rahnu sebagai
berikut, menjadikan al-‘Ain (barang) sebagai watssiqah (jaminan)
utang yang barang itu digunakan untuk membayar utang tersebut (al-marhun
bihi) ketika pihak al-madîn (pihak yang berutang, al-râhin)
tidak bisa membayar utang tersebut.
2.
Ulama Hambali mendefinisikan al-rahnu sebagai berikut, harta
yang dijadikan sebagai watssiqah utang yang ketika pihak yang menanggung
tidak bisa melunasinya, maka utang tersebut dibayar dengan menggunakan harga
hasil penjualan harta yang dijadikan watssiqah tersebut.
3.
Ulama Malikiyah mendefinisikan al-rahn seperti berikut,
sesuatu yang mutamawwal (berbentuk harta dan memiliki nilai) yang
diambil dari pemiliknya untuk dijadikan watssiqah utang yang lâzim
(keberadaanya sudah positif dan mengikat) atau yang akan menjadi lâzim.
Menurut Malikiyah al-akhdzu (mengambil) di dalam definisi al-rahnu tadi
yang dimaksud bukanlah penyerahan secara nyata dan konkrit karena menurut
mereka, penyerahan secara nyata dan konkrit bukanlah termasuk syarat
terbentuknya akad al-rahnu, bukan termasuk syarat sahnya dan juga bukan
termasuk syarat upaya al-rahnu berlaku mengikat (lâzim).
Dari defenisi-defenisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
yang dimaksud dengan gadai (rahn) adalah menjadikan barang yang
mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, dalam
arti seluruh hutang atau sebagiannya dapat diambil sebab sudah ada barang
jaminan tersebut, dan dapat dijadikan pembayaran hutang jika hutang itu tidak
dapat dibayar.
Dasar Hukum Al-Rahn
1.
Di dalam Al-Qur’an
Ayat yang dapat dijadikan dasar hukum perjanjian gadai adalah QS.
Al-Baqarah ayat 283:
*
bÎ)ur
óOçFZä.
4n?tã 9xÿy
öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x.
Ö`»ydÌsù
×p|Êqç7ø)¨B
( ÷bÎ*sù
z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ Ïjxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$#
¼çmtFuZ»tBr& È,Guø9ur
©!$# ¼çm/u 3 wur
(#qßJçGõ3s?
noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6t ÿ¼çm¯RÎ*sù
ÖNÏO#uä
¼çmç6ù=s%
3 ª!$#ur
$yJÎ/
tbqè=yJ÷ès?
ÒOÎ=tæ
ÇËÑÌÈ
Artinya: “jika
kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para
saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka
Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan.”.
Syaikh Muhammad ‘Ali As-Sayis mengungkapkan bahwa rahn dapat
dilakukan ketika dua pihak yang bertransaksi sedang melakukan perjalanan
(musafir), dan transaksi yang demikian ini harus dicatat dalam sebuah berita
acara (ada orang yang menuliskannya)dan ada orang yang menjadi saksi
terhadapnya. Bahkan beliau menganggap bahwa dengan rahn, prinsip
kehati-hatian sebenarnya lebih terjamin ketimbang bukti tertulis ditambah
dengan persaksian seseorang. Sekalipun demikian, penerima gadai (murtahin) juga
dibolehkan tidak menerima barang jaminan (marhun) dari pemberi gadai (rahin)
tidak akan menghindar dari kewajibannya. Sebab, substansi dalam peristiwa rahn
adalah untuk menghindari kemudaratan yang diakibatkan oleh berkhianatnya
salah satu pihak atau kedua belah pihak ketika keduanya melakukan transaksi
utang-piutang.
2.
Di dalam Al-Sunnah
Dasar hukum yang kedua untuk dijadikan rujukan dalam membuat
rumusan gadai syariah adalah hadits Nabi Muhammad saw, yang antara lain
diungkapkan sebagai berikut.
1) Hadits ‘Aisyah ra. yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim, yang berbunyi:
“Telah
meriwayatkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim Al-Hanzhali dan Ali bin Khasyram
berkata: keduanya mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus bin ‘Amasy dari Ibrahim
dari Aswad dari ‘Aisyah berkata: bahwasannya Rasulullah saw. Membeli makanan
dari seorang Yahudi dengan menggadaikan baju besinya.” (HR. Muslim)
2) Hadits dari Anas bin Malik
ra. yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang berbunyi:
“Telah
meriwayatkan kepada kami Nashr bin Ali Al-Jahdami, ayahku telah meriwayatkan
kepadaku, meriwayatkan kepada kami Hisyam bin Qatadah dari Anas berkata:
Sungguh Rasulullah saw. menggadaikan baju besinyakepada seorang Yahudi di
Madinah dan menukarnya dengan gandum untuk keluarganya.” (HR. Ibnu Majah)
3.
Pada Ijma’ Ulama
Jumhur Ulama menyepakati kebolehan status hukum gadai. Hal
dimaksud, berdasarkan pada kisah Nabi Muhammad saw. yang menggadaikan baju
besinya untuk mendapatkan makanan dari seorang Yahudi. Para Ulama juga
mengambil indikasi dari contoh Nabi Muhammad saw. tersebut, ketika beliau
beralih dari yang biasanya bertransaksi kepada para sahabat yang kaya kepada
seorang Yahudi, bahwa hal itu tidak lebih sebagai sikap Nabi Muhammad saw. yang
tidak mau memberatkan para sahabat yang biasanya enggan mengambil ganti ataupun
harga yang diberikan oleh Nabi Muhammad
saw. kepada mereka.
0 komentar:
Posting Komentar
Komentarlah dengan bijak dan bahasa yang santun. NO SARA !