Catatan dari orang kecil

support

19 Feb 2016

Berakhirnya Al-Kafaalah (Jaminan) Terhadap Harta

Apabila al-kafaalah (jaminan) yang ada adalah terhadap harta. Contoh: Bu A mempunyai utang Rp.500.000,- di Toko B, utang ini akan dibayar Bu A 2 bulan yang akan datang, tetapi belum sempat 2 bulan beliau sakit, akhirnya meninggal dunia dan disini anaknya menjamin utang tersebut. Al-kafaalah (jaminan) terhadap harta dikatakan selesai dan berakhir dengan dua hal sebagai berikut :
kafalah-nging

1.    Telah adanya pembayaran dan pelunasan utang yang ada kepada pihak ad-Daa’in (pihak yang memberikan utang, al-Makfuul lahu) atau telah adanya sesuatu yang berkedudukan hukum seperti pembayaran dan pelunasan utang. Baik apakah pembayaran dan pelunasan itu dari pihak penjamin (kafiil) maupun dari pihak yang dijamin (ashiil). Karena hak menagih utang adalah medium agar utang yang ada dibayar dan dilunasi. Jika pelunasan itu sudah terjadi, maka berarti maksud dan tujuan al-Kafaalah telah tercapai, oleh karena itu secara otomatis al-Kafaalah yang ada juga usai dan berakhir.
Begitu juga, al-Kafaalah berakhir jika pihak ad-Daa’in menghibahkan utang yang ada kepada pihak penjamin atau kepada pihak yang dijamin. Karena dengan adanya hibah itu, maka seakan-akan utang yang ada telah lunas. Begitu juga, al-Kafaalah berakhir apabila pihak ad-Daa’in mensedekahkan utang yang ada kepada pihak penjamin atau kepada pihak yang dijamin.
Begitu juga, alKafaalah berakhir apabila pihak ad-Daa’in meninggal dunia, sementara yang mewarisinya adalah pihak penjamin atau pihak yang dijamin. Karena dengan adanya hak waris ini, berarti pihak penjamin atau pihak yang dijamin memiliki apa yang sebelumnya menjadi tanggungannya untuk membayarnya.
Jika yang mewarisi adalah pihak penjamin, maka berarti apa yang sebelumnya menjadi tanggungannya telah berbalik menjadi miliknya, dan selanjutnya boleh bagi dirinya untuk menagih kepada pihak yang ia jamin, sama seperti jika ia memilikinya dengan berdasarkan pelunasan yang ia lakukan. Namun jika yang mewarisi adalah pihak yang dijamin, maka pihak penjamin secara otomatis juga telah terbebas dari tanggungan, seolah-olah ia telah membayar dan melunasinya.
2.    Adanya al-Ibraa’ (pembebasan) atau sesuatu yang semakna dengannya.
Apabila pihak yang memberikan utang (ad-Daa’in, al-Makfuul lahu) membebaskan pihak penjamin atau pihak yang dijamin dari tanggungan utang yang ada, maka al-Kafaalah yang ada usai dan berakhir. Hanya saja, apabila yang dibebaskan dari tanggungan adalah pihak penjamin, maka pihak yang dijamin tidak ikut dibebaskan.
Sedangkan apabila yang dibebaskan dari tanggungan adalah pihak yang dijamin, maka secara otomatis pihak penjamin juga dibebaskan. Karena utang yang ada sebenarnya adalah tanggungan pihak yang dijamin, bukan tanggungan pihak penjamin. Oleh karena itu, apabila yang dibebaskan dari tanggungan utang adalah pihak yang dijamin, maka hal itu berarti pengguguran utang yang ada dari tanggungannya, sehingga secara otomatis hak menagih kepada pihak penjamin juga gugur, karena kapan suatu asal gugur, maka cabangnya juga ikut gugur.
Adapun pembebasan pihak penjamin, maka itu adalah pembebasan dari beban tagihan terhadapnya, bukan pembebasan dari utang, karena pada dasarnya ia memang tidak memiliki tanggungan utang. Pengguguran hak penagihan dari pihak penjamin tidak berarti lantas utang yang ada gugur dari pihak yang dijamin, karena apabila yang gugur adalah cabang, maka asalnya tidak ikut gugur.
Seandainya pihak ad-Daa’in berkata kepada pihak penjamin atau kepada pihak yang dijamin, “Bari’ta ilayya minal maal” (kamu telah terbebas dari utang yang ada kepadaku), maka pihak penjamin atau pihak yang dijamin terbebas dari tanggungan utang tersebut. Karena perkataan ini berarti pengakuan telah adanya al-Qabdhu dan al-Istiifaa’ (telah menerima pelunasan utang). Karena pihak ad-Daa’in, dengan perkataannya tersebut menjadikan dirinya sebagai titik target pembebasan.
hal tersebut merupakan bentuk keterbatasan karena al-Qabdhu dan al-Istiifaa’ (keterbebasan dari tanggungan utang karena pihak yang memberikan utang telah menerima pelunasan utang yang ada). Oleh karena itu pihak kafiil dan pihak ashiil, keduanya sama-sama terbebas dari tanggungan. Karena pengakuan telah adanya pelunasan utang berarti kedua belah pihak (penjamin dan yang dijamin) terbebas dari tanggungan. Selanjutnya pihak penjamin boleh meminta ganti kepada pihak yang dijamin apabila al-Kafaalah yang ada berdasarkan perintah atau permintaan pihak yang dijamin.
Apabila pihak ad-Daa’in berkata kepada pihak penjamin atau pihak yang dijamin, “Bari’ta minal maal” (kamu telah terbebas dari tanggungan utang yang ada), tanpa ada tambahan kata “ilayya” seperti yang terdapat pada perkataan yang pertama, maka menurut Abu Yusuf pihak penjamin atau pihak yang dijamin juga terbebas, sama seperti pada perkataan yang pertama. Karena perkataan ini mengandung maksud pengakuan telah menerima pembayaran utang. Katena al-Baraa’ah (keterbebasan) yang disandarkan kepada al-Maal (harta) menurut adat kebiasaan digunakan untuk mengungkapkan makna al-Adaa’ (pelunasan utang). Oleh karena itu, perkataan ini dipahami menurut penggunaan ini. Sedangkan menurut Muhammad, apabila perkataan itu dikatakan kepada pihak penjamin, maka yang terbebas hanya pihak penjamin saja, sedangkan pihak yang dijamin tidak ikut terbebas. Hal ini seperti perkataan “Abra’tuka” (saya membebaskanmu dari tanggungan yang ada). Karena terbebas dari tanggungan utang terkadang karena memang telah membayar dan melunasinya (al-Adaa’), atau karena adanya al-Ibraa’ (pembebasan). Maka oleh karena itu, al-Baraa’ah (status terbebas dari tanggungan) yang terdapat di dalam perkataan ini tidak bisa dipahami dalam konteks al-Adaa’ (pelunasan utang) kecuali jika ada penjelasan tambahan yang mengindikasikan bahwa yang dimaksud adalah memang al-Adaa’ (pembayaran utang). Indikasi ini ditemukan di dalam perkataan yang pertama, yaitu dengan adanya tambahan kata “ilayya”, yang dengan adanya tambahan kata ini, perkataan yang pertama mengindikasikan maksud atau arti al-Adaa’ (pembayaran atau pelunasan utang), sedangkan hal ini tidak ditemukan di dalam perkataan yang kedua.
Apabila pihak penjamin atau pihak yang dijamin mengadakan akad al-Hawaalah dengan pihak ad-Daa’in dengan memindahkan utang yang ada kepada pihak ketiga, lalu pihak al-Muhaal (dalam hal ini adalah pihak yang memiliki hak atau ad-Daa’in) menerima akad al-Hawaalah tersebut, maka akad al-Kafaalah yang ada berakhir. Karena al-Hawaalah mengandung arti pembebasan dari utang berikut tuntutan tagihan sekaligus.
Begitu juga, al-Kafaalah berakhir dan usai dengan adanya akad ash-Shulh (kesepakatan damai), seperti jika pihak penjamin dan pihak yang memiliki hak (ad-Daa’in, al-Makfuul lahu) mengadakan ash-Shulh dengan al-Mushaalah ‘alaih berupa sebagian harta yang dituntut (maksudnya sebagian utang yang ada). Dengan adanya akad ash-Shulh ini, pihak penjamin dan pihak yang dijamin terbebas dari tanggungan dalam dua kasus, yaitu :
a)    Pihak kafiil (penjamin) berkata kepada pihak ad-Daa’in, “saya mengadakan akad ash-Shulh denganmu dengan al-Mushaalah ‘alaih adalah sebagian hakmu dan saya serta pihak yang saya jamin terbebas dari sisanya”.
b)   Pihak penjamin berkata, “saya mengadakan akad ash-Shulh denganmu dengan al-Mushaalah ‘alaih adalah begini”, dengan perkataan yang bersifat mutlak tanpa menyebutkan syarat terbebas dari tanggungan.
Sedangkan jika pihak penjamin berkata kepada pihak ad-Daa’in seperti berikut, “saya mengadakan akad ash-Shulh denganmu dengan al-Mushaalah ‘alaih berupa sekian dari hakmu atas dasar saya terbebas dari sisanya”, maka yang terbebas hanya pihak penjamin saja, sedangkan pihak yang dijamin tidak ikut terbebas.

Berakhirnya Al-Kafaalah (Jaminan) Terhadap Harta Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

0 komentar:

Posting Komentar

Komentarlah dengan bijak dan bahasa yang santun. NO SARA !