Apabila
al-kafaalah (jaminan) yang ada adalah
terhadap harta. Contoh: Bu A mempunyai utang Rp.500.000,- di Toko B, utang ini akan dibayar Bu A 2 bulan yang akan datang, tetapi belum
sempat 2 bulan beliau sakit, akhirnya meninggal dunia dan disini anaknya
menjamin utang tersebut.
Al-kafaalah (jaminan) terhadap harta dikatakan
selesai dan berakhir dengan dua hal sebagai berikut :
1. Telah adanya pembayaran dan pelunasan
utang yang ada kepada pihak ad-Daa’in (pihak
yang memberikan utang, al-Makfuul lahu)
atau telah adanya sesuatu yang berkedudukan hukum seperti pembayaran dan
pelunasan utang. Baik apakah pembayaran dan pelunasan itu dari pihak penjamin (kafiil) maupun dari pihak yang dijamin (ashiil). Karena hak menagih utang adalah
medium agar utang yang ada dibayar dan dilunasi. Jika pelunasan itu sudah
terjadi, maka berarti maksud dan tujuan al-Kafaalah
telah tercapai, oleh karena itu secara otomatis al-Kafaalah yang ada juga usai dan berakhir.
Begitu
juga, al-Kafaalah berakhir jika pihak
ad-Daa’in menghibahkan utang yang ada
kepada pihak penjamin atau kepada pihak yang dijamin. Karena dengan adanya
hibah itu, maka seakan-akan utang yang ada telah lunas. Begitu juga, al-Kafaalah berakhir apabila pihak ad-Daa’in mensedekahkan utang yang ada
kepada pihak penjamin atau kepada pihak yang dijamin.
Begitu juga, alKafaalah berakhir apabila pihak ad-Daa’in meninggal dunia, sementara
yang mewarisinya adalah pihak penjamin atau pihak yang dijamin. Karena dengan
adanya hak waris ini, berarti pihak penjamin atau pihak yang dijamin memiliki
apa yang sebelumnya menjadi tanggungannya untuk membayarnya.
Jika yang mewarisi
adalah pihak penjamin, maka berarti apa yang sebelumnya menjadi tanggungannya
telah berbalik menjadi miliknya, dan selanjutnya boleh bagi dirinya untuk
menagih kepada pihak yang ia jamin, sama seperti jika ia memilikinya dengan
berdasarkan pelunasan yang ia lakukan. Namun jika yang mewarisi adalah pihak
yang dijamin, maka pihak penjamin secara otomatis juga telah terbebas dari
tanggungan, seolah-olah ia telah membayar dan melunasinya.
2. Adanya al-Ibraa’ (pembebasan) atau sesuatu yang semakna dengannya.
Apabila
pihak yang memberikan utang (ad-Daa’in,
al-Makfuul lahu) membebaskan pihak penjamin atau pihak yang dijamin dari
tanggungan utang yang ada, maka al-Kafaalah
yang ada usai dan berakhir. Hanya saja, apabila yang dibebaskan dari
tanggungan adalah pihak penjamin, maka pihak yang dijamin tidak ikut
dibebaskan.
Sedangkan apabila yang dibebaskan dari tanggungan adalah pihak yang
dijamin, maka secara otomatis pihak penjamin juga dibebaskan. Karena utang yang
ada sebenarnya adalah tanggungan pihak yang dijamin, bukan tanggungan pihak
penjamin. Oleh karena itu, apabila yang dibebaskan dari tanggungan utang adalah
pihak yang dijamin, maka hal itu berarti pengguguran utang yang ada dari
tanggungannya, sehingga secara otomatis hak menagih kepada pihak penjamin juga
gugur, karena kapan suatu asal gugur, maka cabangnya juga ikut gugur.
Adapun
pembebasan pihak penjamin, maka itu adalah pembebasan dari beban tagihan
terhadapnya, bukan pembebasan dari utang, karena pada dasarnya ia memang tidak
memiliki tanggungan utang. Pengguguran hak penagihan dari pihak penjamin tidak
berarti lantas utang yang ada gugur dari pihak yang dijamin, karena apabila
yang gugur adalah cabang, maka asalnya tidak ikut gugur.
Seandainya
pihak ad-Daa’in berkata kepada pihak
penjamin atau kepada pihak yang dijamin, “Bari’ta
ilayya minal maal” (kamu telah terbebas dari utang yang ada kepadaku), maka
pihak penjamin atau pihak yang dijamin terbebas dari tanggungan utang tersebut.
Karena perkataan ini berarti pengakuan telah adanya al-Qabdhu dan al-Istiifaa’ (telah
menerima pelunasan utang). Karena pihak ad-Daa’in,
dengan perkataannya tersebut menjadikan dirinya sebagai titik target
pembebasan.
hal tersebut merupakan bentuk keterbatasan karena al-Qabdhu dan al-Istiifaa’ (keterbebasan
dari tanggungan utang karena pihak yang memberikan utang telah menerima
pelunasan utang yang ada). Oleh karena itu pihak kafiil dan pihak ashiil, keduanya
sama-sama terbebas dari tanggungan. Karena pengakuan telah adanya pelunasan
utang berarti kedua belah pihak (penjamin dan yang dijamin) terbebas dari
tanggungan. Selanjutnya pihak penjamin boleh meminta ganti kepada pihak yang
dijamin apabila al-Kafaalah yang ada
berdasarkan perintah atau permintaan pihak yang dijamin.
Apabila
pihak ad-Daa’in berkata kepada pihak
penjamin atau pihak yang dijamin, “Bari’ta
minal maal” (kamu telah terbebas dari tanggungan utang yang ada), tanpa ada
tambahan kata “ilayya” seperti yang
terdapat pada perkataan yang pertama, maka menurut Abu Yusuf pihak penjamin
atau pihak yang dijamin juga terbebas, sama seperti pada perkataan yang
pertama. Karena perkataan ini mengandung maksud pengakuan telah menerima
pembayaran utang. Katena al-Baraa’ah (keterbebasan)
yang disandarkan kepada al-Maal (harta)
menurut adat kebiasaan digunakan untuk mengungkapkan makna al-Adaa’ (pelunasan utang). Oleh karena itu, perkataan ini dipahami
menurut penggunaan ini. Sedangkan menurut Muhammad, apabila perkataan itu
dikatakan kepada pihak penjamin, maka yang terbebas hanya pihak penjamin saja,
sedangkan pihak yang dijamin tidak ikut terbebas. Hal ini seperti perkataan “Abra’tuka” (saya membebaskanmu dari
tanggungan yang ada). Karena terbebas dari tanggungan utang terkadang karena
memang telah membayar dan melunasinya (al-Adaa’),
atau karena adanya al-Ibraa’
(pembebasan). Maka oleh karena itu, al-Baraa’ah
(status terbebas dari tanggungan) yang terdapat di dalam perkataan ini
tidak bisa dipahami dalam konteks al-Adaa’
(pelunasan utang) kecuali jika ada penjelasan tambahan yang mengindikasikan
bahwa yang dimaksud adalah memang al-Adaa’
(pembayaran utang). Indikasi ini ditemukan di dalam perkataan yang pertama,
yaitu dengan adanya tambahan kata “ilayya”,
yang dengan adanya tambahan kata ini, perkataan yang pertama
mengindikasikan maksud atau arti al-Adaa’
(pembayaran atau pelunasan utang), sedangkan hal ini tidak ditemukan di
dalam perkataan yang kedua.
Apabila
pihak penjamin atau pihak yang dijamin mengadakan akad al-Hawaalah dengan pihak ad-Daa’in
dengan memindahkan utang yang ada kepada pihak ketiga, lalu pihak al-Muhaal (dalam hal ini adalah pihak
yang memiliki hak atau ad-Daa’in)
menerima akad al-Hawaalah tersebut,
maka akad al-Kafaalah yang ada
berakhir. Karena al-Hawaalah mengandung
arti pembebasan dari utang berikut tuntutan tagihan sekaligus.
Begitu
juga, al-Kafaalah berakhir dan usai
dengan adanya akad ash-Shulh (kesepakatan
damai), seperti jika pihak penjamin dan pihak yang memiliki hak (ad-Daa’in, al-Makfuul lahu) mengadakan ash-Shulh dengan al-Mushaalah ‘alaih berupa sebagian harta yang dituntut (maksudnya
sebagian utang yang ada). Dengan adanya akad ash-Shulh ini, pihak penjamin dan pihak yang dijamin terbebas dari
tanggungan dalam dua kasus, yaitu :
a) Pihak kafiil (penjamin) berkata kepada pihak ad-Daa’in, “saya mengadakan akad ash-Shulh denganmu dengan al-Mushaalah
‘alaih adalah sebagian hakmu dan saya serta pihak yang saya jamin terbebas
dari sisanya”.
b) Pihak penjamin berkata, “saya mengadakan
akad ash-Shulh denganmu dengan al-Mushaalah ‘alaih adalah begini”,
dengan perkataan yang bersifat mutlak tanpa menyebutkan syarat terbebas dari
tanggungan.
Sedangkan
jika pihak penjamin berkata kepada pihak ad-Daa’in
seperti berikut, “saya mengadakan akad ash-Shulh
denganmu dengan al-Mushaalah ‘alaih berupa
sekian dari hakmu atas dasar saya terbebas dari sisanya”, maka yang terbebas
hanya pihak penjamin saja, sedangkan pihak yang dijamin tidak ikut terbebas.
0 komentar:
Posting Komentar
Komentarlah dengan bijak dan bahasa yang santun. NO SARA !