Tanggung Jawab Spiritual
Husen Nasr dalam "Islam
and tha Pligh of Modern Man" menyatakan bahwa akibat masyarakat
modern yang mendewa-dewakan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan mereka
berada dalam wilayah pinggiran eksistensinya sendiri, bergerak menjauh dari
pusat, sementara pemahaman agama yang berdasarkan wahyu mereka tinggalkan,
hidup dalam keadaan sekuler. Masyarakat yang demikian adalah masyarakat Barat
yang dikatakan the Post Industrial Society telah kehilangan
visi keilahian (Komaruddin).
Kehilangan visi
keilahian ini bisa mengakibatkan timbulnya gejala psikologis, yakni adanya
kehampaan spiritual. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta filsafat
nasionalisme tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok manusia dalam aspek
nilai-nilai transenden, satu kebutuhan vital yang hanya bisa digali dari sumber
wahyu Ilahi.
Melihat gejala manusia
modern yang penuh problema tersebut, Husen Nasr, seorang ulama' Iran menawarkan
alternatif terapi agar mereka mendalami dan menjalankan praktek tasawuf. Sebab
tasawuflah yang dapat memberikan jawaban-jawaban terhadap kebutuhan spiritual
mereka. Dalam pandangan tasawuf, penyelesaian dan perbaikan keadaan itu tidak
dapat tercapai secara optimal jika hanya dicari dalam kehidupan lahir. Dalam
tasawuf terdapat prinsip-prinsip positif yang mampu mengembangkan masa depan
manusia, seperti introspeksi (muhasabah) baik dalam kaitannya dengan masalah-masalah
vertikal maupun horizontal, kemudian meluruskan hal-hal yang kurang baik.
Tanggung Jawab Etik
Sebagai akibat
modenisasi dan industrialisasi, kadang manusia mengalami degradasi moral yang
dapat menjatuhkan harkat dan martabatnya. Kehidupan modern seperti sekarang ini
sering menampilkan sifat-sifat yang kurang dan tidak terpuji, terutama dalam
menghadapi materi yang gemerlap ini. Sifat-sifat yang tidak terpuji tersebut
adalah al-hirsh, al-hasud dan riya'. Cara
menghilangkan sifat-sifat tersebut ialah dengan mengadakan penghayatan atas
keimanan dan ibadahnya, mengadakan latihan secara bersungguh-sungguh, berusaha
merubah sifat-sifatnya itu dengan mencari waktu yang tepat.
Memang diakui oleh para
ahli tasawuf, bahwa manusia dalam kehidupanmya selalu berkompetisi dengan hawa
nafsunya yang selalu ingin menguasainya. Agar hawa nafsu seseorang dikuasai
oleh akal yang telah mendapat bimbingan wahyu, maka dalam dunia tasawuf
diajarkan berbagai cara, seperti riyadhah (latihan) dan mujahadah (bersungguh-sungguh)
sebagai sarana untuk melawan hawa nafsunya tadi. Cara pembinaannya melalui tiga
tahapan, yakni tahap pembersihan dan pengosongan jiwa dari sifat-sifat tercela
(takhalli), tahap kedua ialah penghiasan diri dengan sifat-sifat terpuji
(tahalli) dan ketiga tercapainya sinar Ilahi (tajalli).
Tanggung Jawab Politik
Tasawuf pada masa
sekarang tidak lagi menjauhi kekuasaan, sebagaimana yang dilakukan oleh para
sufi klasik. Akan tetapi tampil di tengah-tengah percaturan politik dan masuk
ke dalam "kekuasaan". Sebab menjauhinya menunjukkan ketidakberdayaan
dan kelemahan. Apabila pada masa klasik ada fatwa untuk menjauhi dan bersikap
oposan terhadap kekuasaan, hal itu sedikit bisa dibenarkan karena kekuasaan
pada waktu itu bersifat individual, sementara itu kini kekuasaan bersifat
kolektif.
Tanggung Jawab Pluralisme Agama
Satu hal lain yang
menjadi kenyataan masyarakat dunia adalah masyarakat majemuk (plural), yakni
masyarakat yang beraneka ragam, baik agama, suku, daerah, adat istiadat, maupun
yang lainnya. Pluralitas masyarakat modern dipandang sebagai sesuatu yang
wajar, sebab telah menjadi sunnatullah, tidak ada hidup tanpa pluralitas dalam
arti antar umat. Dan dalam pengertian yang sudah luas lagi, pluralitas dalam
berbagai bidang pun tidak bisa dipungkiri lagi, seperti ras, suku, watak, dan
sebagainya. Di sini tasawuf akan melihat hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan
yang berasal-usul satu, yakni Adam a.s.
Khusus mengenai
pluralitas agama, disebutkan dalam al-Qur'an bahwa kebenaran universal yang
tunggal bagi semua ajaran agama ialah prinsip tauhid, yaitu pengesaan Tuhan dan
kesatuan umat (Q.S. al-Anbiya' : 92). Prinsip inilah yang dibawa oleh semua
Nabi dan Rasul Allah SWT. Karena prinsip ajaran mereka sama, maka para pengikut
semua Nabi dan Rasul itu adalah umat yang satu atau tunggal. Dengan kata lain,
konsep kesatuan dasar ajaran membawa konsep kesatuan kenabian dan kerasulan,
kemudian membawa kepada kesatuan umat yang beriman. Konsep tauhid mempunyai
implikasi praktis dalam bermuamalah, yakni keharusan menyadari adanya berbagai
perbedaan. Perbedaan-perbedaan itu sebenarnya tidak perlu dipertentangkan, akan
tetapi diambil makna positifnya yang dalam al-Qur'an dinyatakan agar dijadikan
alat pembeda dan justru dengan itu akan mudah mengenal satu sama lain dengan
identitas yang dimilikinya.
Tanggung Jawab Intelektual
Tuntutan yang muncul
dari akibat modernisasi dan industrialisasi tersebut, ialah pengembangan
kemampuan intelektual muslim sehingga memiliki kemampuan dialogis dan
fungsional terhadap perkembangan IPTEK. Secara epistimologis tasawuf memakai
methode intuitif, yang pada abad ini dapat dijadikan sebagai salah satu
alternatif dan rasionalisme dan empirisme dan membantunya untuk melakukan terobosan
baru dalam berbagai hal.
Diakui bahwa intuisi
itu berbeda, karena akal maupun indera merupakan insturmen yang lebih
berkompeten untuk menghadapi obyek-obyek materi serta hubungan-hubungan
kuantitatif. David Truebood menjelaskan, paling tidak ada tiga hal yang harus
dipenuhi agar kebenaran pengetahuan intuitif ini dapat diterima, di antaranya :
·
Moralitas subyek
·
Akal sehat
·
Keahlian subyek secara tepat.
Jika demikian, maka
tasawuf bukan lagi menjadi tempat pelarian bagi sementara orang, namun
merupakan suatu keniscayaan yang sungguh perlu diperhatikan oleh semua orang.
Dan ketika itu, tasawuf akan eksis di tengah-tengah percaturan dunia modern.
Dan di sinilah letak peranan dan tanggung jawab sosialnya. Proses modernisasi, yang dijalankan oleh dunia barat sejak zaman
renaissanse, di samping membawa dampak positif, juga telah menimbulkan dampak
negatif. Dampak positfnya, modernisasi telah membawa kemudahan-kemudahan dalam
kehidupan manusia. Sementara damapk negatifnya, modernisasi telah menimbulkan
krisis makna hidup, kehampaan spiritualisasi dan tersingkirnya agama dalam
kehidupan manusia.
Krisis
peradaban moderen bersumber dari penolakan terhadap hakikat ruh dan
penyingkiran ma’nawiyah secara gradual dalam kehidupan manusia. Manusia moderen
mencoba hidup dengan roti semata, mereka bahkan berupaya membunuh tuhan dan
menyatakan kebebasan dari kehidupan akhirat. Konsekwensi lebih lanjut dari
perkembangan ini kekuatan dan daya manusia mengalami eksternalisas. Dengan
eksternalisasi in manusia kemudian menaklukan secara tanpa batas dan alam
dipandang tak lebih dari sekedar obyek dan sumberdaya yang perlu dimanfaatkan
dan di eksploitasi semaksimal mungkin.
Manusia moderen memperlakukan alam sama dengan pelacur, mereke menikmati dan
mengeksploitasi kepuasan dirinya tanpa rasa kewajiban dan rasa tanggung jawab
apapun. Inilah yang menyebabkan krisis di dunia modern, tidak hanya krisis
dalam kehidupan spiritual tetapi juga dalam kehidupan sosial sehari-hari.
Akibat
dari fenomena diatas, masyarakat barat yang telah mencapai tingkat kemakmuran
materisedimikian rupa dengan perangkat teknologi yang serba mekanisme dan
otomatis. Bukan semakin
mendekati kebahagian hidup melainkan semakin kian di hinggapi rasa cemas justru
akibat kemewahan hidup yang diraihnya. Mereka talah menjadi ilmu dan teknologi,
sehingga tanpa disadari integritas kemanusianya tereduksi, lalu terperangkap
pada jaringan sistem rasinalitas teknologi yang sangat tidak humanitatis.
Mereka merasa cukup dengan
perangkat ilmu teknoogi semantara pemikiran dan pemahaman keagamaan yang
bersumbur pada ajaran wahyu dan ditinggalkan. Dengan ungkapan lebih populer,
masyarakat Barat telah memasiki post crisian era dan berkembangkah paham
sekulerisme. Agar manusia modern dapat keluar dari krisis ini manusia harus
kembali kepusat eksistensi lewat latihan spiritual dan pengamalan ajaran agama.
0 komentar:
Posting Komentar
Komentarlah dengan bijak dan bahasa yang santun. NO SARA !