Sufisme adalah isme
atau dapat juga dikatakan sebagai ilmu untuk menjalani kehidupan sufistik
seorang sufi, yang mana diketahui bahwa akhir dari kesufian adalah
awal dari kenabian, yang tentu saja menjadikan kesufian dapat di artikan
pencarian kesucian yang tertinggi yang menjadi dasar atau awal kenabian,
demikianlah bahwa akhir kesufian hanyalah awal kenabian menjadikan setinggi-tinggi
nya tingkat kesufian tidaklah dapat mencapai tingkat kenabian.Sejak abad ke II
Hijriah sufisme sudah popular di kalangan masyarakat di kawasan dunia islam
sebagai perkembangan lanjut dari gaya keberagamannya para zahid dan abid.
Fase awal ini juga
disebut sebagai fase asketisme yang merupakan bibit awal tumbuhnya sufisme
dalam peradaban islam. Keadaan ini ditandai oleh munculnya individu-individu
yang lebih mengejar kehidupan akhirat, sehingga perhatiannya terpusat untuk
beribadah dan mengabaikan duniawi. Fase asketisme ini setidaknya berlangsung
sampai akhir abad II hijriah dan memasuki abad ke III sudah menampakkan adanya
peralihan dari asketisme ke sufisme. Sejak kurun waktu itu sufisme
berkembang terus kea rah penyempurnaannya dan spesifikasi terminology, seperti
konsep intuisis, dzaug dan al-kasyf. Kesepatan perkembangan sufisme nampaknya
memperoleh dorongan setidaknya dari tiga factor penting yakni: pertama gaya
hidupnya yang serba ada yang diperagakan oleh sebagian besar pengusaha negeri
aspek ini dorongan yang paling kuat adalah sebagai reaksi kelompok elit dinasti
pengusahaan.
Selain itu kerangka
organisasi sufisme sejalan dengan pergeseran doktrin juga difungsikan untuk
memerangi kompromi dan sinkretisme doktrin islam dengan ajaran-ajaran dan praktek-praktek
kepercayaan lainnya. Sufisme atau tasawwuf mengajarkan kita untuk melihat di
balik selubung kegelapan yang telah menutupi sistem-sistem kepercayaan kita.
Seseorang yang dengan tulus mengikuti program-program latihan sufi kemungkinan
setelah beberapa lama melalui berbagai ujian/kesulitan akan menemukan/mendekati
suatu keadaan di mana dia dapat “melihat sesuatu sebagaimana adanya”, ketika
dia telah dengan istiqamah “mengabdi/ melayani atau beribadah kepada Tuhan
seolah-olah dia telah melihat-Nya”, dan dia benar-benar menyadari bahwa dia
berada “di dunia, sekaligus bukan dunia.
Tasawuf di Era Modern
Tasawuf di
era modern ini, ditempatkan sebagai cara pandang yang rasional sesuai dengan
nalar normatif dan nalar humanis-sosiologis. Kepekaan sosial, lingkungan (alam)
dan berbagai bidang kehidupan lainnya adalah bagian yang menjadi ukuran bahwa
tasawuf di era modern itu tidak sekedar pemenuhan spiritual, akan tetapi lebih
dari itu yaitu mampu membuahkan hasil bagi yang ada di bumi ini.
Menurut Bagir tasawuf
itu bukan barang mati. Sebab tasawuf itu merupakan produk sejarah yang
seharusnya dikondisikan sesuai dengan tuntutan dan perubahan zaman.
Penghayatan tasawuf bukan untuk diri sendiri, seperti yang kita temui di masa
silam. Tasawuf di era modern adalah alternatif yang mempertemukan jurang
kesenjangan antara dimensi ilahiyah dengan dimensi duniawi.Banyak orang yang
secara normatif (kesalehan individu) telah menjalankan dengan sempurna, tetapi
secara empiris (kesalehan sosial) kadang-kadang belum tanpak ada. Dengan
demikian lahirnya tasawuf di era modern diharapkan menjadi tatanan kehidupan
yang lebih baik.
Tasawuf pada dasarnya
merupakan jalan atau cara yang ditempuh oleh seseorang untuk mengetahui tingkah
laku nafsu dan sifat-sifat nafsu, baik yang buruk maupun yang terpuji. Karena
itu kedudukan tasawuf dalam Islam diakui sebagai ilmu agama yang berkaitan
dengan aspek-aspek moral serta tingkah laku yang merupakan substansi Islam.
Dimana secara filsafat sufisme itu lahir dari salah satu komponen dasar agama
Islam, yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Kalau iman melahirkan ilmu teologi (kalam),
Islam melahirkan ilmu syari’at, maka ihsan melahirkan ilmu akhlaq atau tasawuf.
Meskipun dalam ilmu
pengetahuan wacana tasawuf tidak diakui karena sifatnya yang Adi
Kodrati, namun eksistensinya di tengah-tengah masyarakat membuktikan bahwa
tasawuf adalah bagian tersendiri dari suatu kehidupan masyarakat; sebagai
sebuah pergerakan, keyakinan agama, organisasi, jaringan bahkan penyembuhan
atau terapi.
Tasawuf atau sufisme
diakui dalam sejarah telah berpengaruh besar atas kehidupan moral dan spiritual
Islam sepanjang ribuan tahun yang silam. Selama kurun waktu itu tasawuf begitu
lekat dengan dinamika kehidupan masyarakat luas, bukan sebatas kelompok kecil
yang eksklusif dan terisolasi dari dunia luar. Maka kehadiran tasawuf di dunia
modern ini sangat diperlukan, guna membimbing manusia agar tetap merindukan
Tuhannya, dan bisa juga untuk orang-orang yang semula hidupnya glamour dan
suka hura-hura menjadi orang yang asketis (Zuhud pada dunia). Proses
modernisasi yang makin meluas di abad modern kini telah mengantarkan hidup
manusia menjadi lebih materealistik dan individualistic. Perkembangan
industrialisasi dan ekonomi yang demikian pesat, telah menempatkan manusia
modern ini menjadi manusia yang tidak lagi memiliki pribadi yang merdeka, hidup
mereka sudah diatur oleh otomatisasi mesin yang serba mekanis, sehingga
kegiatan sehari-hari pun sudah terjebak oleh alur rutinitas yang menjemukan.
Akibatnya manusia sudah tidak acuh lagi, kalau peran agama menjadi semakin
tergeser oleh kepentingan materi duniawi.
Menurut Amin Syukur,
tasawuf bagi manusia sekarang ini, sebaiknya lebih ditekankan pada tasawuf
sebagai akhlak, yaitu ajaran-ajaran mengenai moral yang hendaknya diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari guna memperoleh kebahagiaan optimal. Tasawuf
perilaku baik, memiliki etika dan sopan santun baik terhadap diri sendiri,
orang lain maupun terhadap Tuhannya.
Menurut Omar Alishah,
yang menjadi salah satu ajaran penting dalam tasawuf adalah pemahaman tentang
totalitas kosmis, bumi, langit, dan seluruh isi dan potensinya baik yang kasar
mata maupun tidak, baik rohaniah maupun jasmaniah, pada dasarnya adalah bagian
dari sebuah sistem kosmis tunggal yang saling mengait, berpengaruh dan
berhubungan. Sehingga manusia mempunyai keyakinan bahwa, penyakit atau gangguan
apapun yang menjangkiti tubuh kita harus dilihat sebagai murni gejala badaniah
ataupun kejiwaan manusiawi, sehingga seberapapun tingkatan keparahannya akan tetap
dapat ditangani secara medis (medical care).
Pendapat Alishah
tersebut senada dengan apa yang dijelaskan oleh Allah SWT dalam al-Qur’an,
bahwa setiap kali terjalin komunikasi dengannya seseorang akan memperoleh
energi spiritual yang menciptakan getaran-getaran psikologi pada aspek jiwa
raga, ibarat curah hujan membasahi bumi yang kemudian menciptakan
getaran-getaran duniawi dan menyebabkan tanaman tumbuh subur. Sesuai dengan
firman Allah yang tertera dalam QS. Al-Hajj:5 :
فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ
وَأَنْبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ (الحج: 5)
Artinya : “ketika kami
turunkan hujan di atasnya ia pun bergerak dan subur mengembang menumbuhkan
berbagai tanaman indah (berpasang-pasangan) (QS; Al-Haj: 5).
0 komentar:
Posting Komentar
Komentarlah dengan bijak dan bahasa yang santun. NO SARA !