Masyarakat modern
adalah masyarakat yang cenderung sekuler, hubungan masyarakat tidak lagi
didasarkan atas prinsip dan tradisi persaudaraan, tetapi lebih pada
prinsip - prinsip fungsional pragmatis. Masyarakat seakan merasa bebas dan
terlepas dari control agama dan pandangan dunia metafisis, ciri-ciri yang lain
adalah penghilangan nilai-nilai sacral terhadap dunia, meletakkan hidup manusia
dalam konteks kenyataan sejarah, dan penisbiaan nilai-nilai.
Masyarakat modern yang
memiliki cirri tersebut ternyata menyimpan problema hidup yang sulit
dipecahkan. Rasionalisme, sekulerisme, materialisme, dan lain sebagainya tidak
menambah kebahagiaan dan ketentraman hidupnya akan tetapi sebaliknya,
menimbulkan kegelisahan hidup yang amat menyiksa. Hossein Naser mneyatakan
bahwa akibat masyarakat modern yang mendewa-dewakan ilmu pengetahuan dan
teknologi berada dalam wilayah pinggiran eksistensi sendiri, bergerak menjauh
dari pusat, sementara pemahaman agama yang berdasarkan wahyu mereka tinggalkan
hidap dalam keadaan sekular.
Dari sanalah kemduian
terjadi suatu kekeringan jiwa yang dirasakan oleh masyarakat modern. Mereka
kemudian berlomba-lomba mencari ketenangan batin dan jiwa dari kekeringan. Dan
jalan spiritual lah yang kemudian dapat membawa satu keseimbangan dalam hidup
mereka, sehingga lambat laun tasawuf sebagai salah satu jalan
agama yang dapat membawa kepada Tuhan menjadi salah satu pilihan utama untuk
lebih dapat mendekatkan diri kepada Allah, dengan harapan agar diberikan
ketenangan rohani.
Sehingga dapat
dikatakan bahwa sufi di zaman modern ialah orang yang mampu menghadirkan ke
dalam dirinya nilai-nilai Ilahiyah yang memancar dalam bentuk perilaku yang
baik dan menyinari kehidupan sesama manusia. Inilah makna hadis Rasulullah
Saw., khairunnas anfauhum linnas, bahwa sebaik-baik manusia ialah manusia yang
bermanfaat bagi sesama manusia. Kesan bahwa sufi harus menjauhkan diri dari
masyarakat (uzlah) dan sibuk dengan ibadahnya sendiri, seperti yang digambarkan
oleh para pihak, bahwa untuk mengamalkan praktik kesufian hanyalah dengan
penyendirian dengan tujuan menyatu dengan Tuhan, tampaknya merupakan hal yang
kurang relevan dengan modernitas yang mengharuskan adanya hubungan antar
pribadi dan kelompok manusia dalam membangun peradaban modern yang cirinya
adalah pemanfaatan iptek dan pendayagunaan sumberdaya secara maksimal serta
kemakmuran kehidupan.
Untuk itu, diperlukan
orientasi baru berupa penghadiran nilai-nilai Ilahi dalam perilaku keseharian
manusia modern, sehingga peran agama yang menghendaki kesucian moral tetap
terasa sangat perlu. Hal ini berarti, pengamalan ajaran agama tidak cukup jika
hanya bersifat rasional dan formal tanpa kesadaran batiniyah yang mendalam,
sehingga setiap muslim dapat merasakan nikmatnya beragama, yang di dalamnya
terkandung kecintaan kepada Tuhan sekaligus kecintaan kepada sesama manusia dan
sesama makhluk.
Tasawwuf
perlu diperkenalkan semula kepada masyarakat dengan pendekatan yang baru.
Pendekatan yang menumpukan pada substansi dan bukannya bentuk (form).
Pendedahan yang apresiatif sekaligus kritis perlu diperkenalkan kepada para
pendidik. Tidak seperti ilmu Syari‘ah lainnya, tasawwuf adalah ilmu yang
mengalami perkembangan yang luas dan terkadang tidak terkawal. Dalam
menggambarkan hal ini, al-Attas mengatakan bahwa seseorang itu mesti dapat
membedakan antara aspek positif tasawwuf daripada aspek negatifnya. Menurutnya
aspek negatif tasawwuf sebenarnya tidak merujuk kepada tasawwuf yang sebenar.
Al-Attas mendefinisikan tasawwuf sebagai pengamalan Syariah dalam maqam ihsan.
Baginya tasawwuf membentuk dimensi ruhani Islam di mana organ yang digunakan
juga adalah organ spiritual (fu’ad, qalb). Dimensi dalaman ini menuntut
seseorang pergi lebih jauh daripada sekedar pengamalan luaran.
Muhammad
al-Ghazzali juga telah mencoba melakukan tajdid terhadap tasawuf. Persoalan
utama yang ingin diatasi olehnya adalah bagaimana mengeluarkan tasawwuf dari
‘gua pertapaan’ sehingga ia dapat menjadi kekuatan yang menggerakkan. Muhammad
al-Ghazali menjelaskan bahawa konsep ihsan yang ditekankan dalam hadist tidak
seharusnya dibatasi pada ibadah khusus saja. Hadist lain menuntut bahwa Allah
Swt. mewajibkan hambanya berlaku ihsan pada setiap perkara yang
dilakukan. Berangkat daripada hadist ini Muhammad al-Ghazali mengatakan
adalah tanggungjawab setiap Muslim untuk memastikan segala tindakannya,
pekerjaan yang dipilihnya, bidang yang digelutinya dilakukan dengan sebaik
mungkin untuk menjamin kualitas dan tahap kecemerlangan yang tertinggi. Bahkan
menurutnya, pelaksanaan fardu kifayah tersebut akan menentukan setiap Muslim
dapat melaksanakan fardu ‘ain. Dengan demikian tidak ada alasan umat Islam
ketinggalan dalam bidang sains, teknologi, militer, ekonomi dsb. Kerena apabila
wujud sikap untuk berbuat yang terbaik (ihsan) dalam melakukan setiap perkara
maka umat Islam tidak akan ketinggalan dan mundur seperti sekarang ini.
Di
Nusantara, telah muncul seorang ilmuwan besar yang telah mencuba untuk
memurnikan ajaran tasawwuf. Hamka menyadari bahawa perkembangan Islam di
Indonesia dan di dunia Islam umumnya telah dipengaruhi oleh ajaran tasawwuf
yang menyeleweng. Dalam menanggapi hal ini antara lain Hamka
mengatakan: “Di dalam zaman kekacauan pikiran, lantaran kurang baiknya
ekonomi, sosial dan politik; kerapkali timbul kerinduan ummat hendak melepaskan
fikiran dari pengaruh kenyataan, lalu masuk ke dalam daerah khayalan
Tasauf”. Menurut Hamka orang pertama yang menyerukan tajdid tasawwuf di
Nusantara adalah Ahmad Khatib bin ‘Abdul-Latif al-Minangkabawi yang mengajar di
Mekah. Beliau telah menentang keras amalan-amalan ahli tariqat terutamanya
tariqat al-Naqshbandiyyah yang menghadirkan guru-guru tariqat ketika permulaan
suluk. Menurut ulama’ ini perbuatan seperti itu adalah syirik. Sebagai
kesimpulan Hamka menyarankan agar tasawwuf dikembalikan kepada pokok pangkalnya
yaitu Tauhid.
Perlu
dijelaskan bahwa dalam seseorang itu mempelajari tasawuf di abad modern ini
tidak semestinya bertariqat. Karena tasawwuf tidak hanya tertumpu pada zikir,
suluk, mujahadah, salasilah dan kuantiti ibadah khusus yang banyak tetapi yang
lebih penting adalah pemahaman dan penghayatan terhadap hakikat ajaran
tasawwuf. Hakikat tasawwuf ialah hidupnya hati nurani dan jiwa manusia yang
senatiasa sadar akan hakikat dirinya, dan hakikat ketuhanan dalam setiap amal
perbuatannya.Seorang sufi melihat segalanya berasal daripada Allah Swt, dengan
kuasa Allah Swt. dan akan kembali kepada Allah Swt. Seorang sufi tidak terpikir
untuk melepaskan dirinya dari tunduk kepada Syariah, justru dia akan sentiasa
memelihara diri daripada perkara-perkara yang ditegah oleh Syari‘ah.
Hasan
Al-Banna pengasas al-Ikhwan al-Muslimin, memperkenalkan sistem usrah untuk
menjadikan tarbiyyah ruhiyyah sebagai asas pembangunan pejuang dakwah. Jelas
sekali bahwa Ia melakukan penggabungan antara tasawwuf dan fiqh al-harakah.
Tasawwuf tidak menjadi tujuan tetapi alat untuk membentengi diri dan memperkuat
barisan. Tasawwuf yang ingin diketengahkan di sini bertujuan untuk meningkatkan
kerohanian dan mendidik jiwa para da‘i sebelum mereka berperanan sebagai
pembimbing masyarakat. Sebagai seorang da‘i tasawwuf dapat menjadi sumber
kekuatan, semangat dan daya juang yang sangat diperlukan dalam penyebaran
dakwah.
Untuk itu, tasawuf di
abad modern tidak lagi berorientasi murni kefanaan untuk menyatu dengan Tuhan,
tetapi juga pemenuhan tanggung jawab manusia sebagai khalifah Tuhan yang harus
memperbaiki dirinya dan sesama makhluk. Dengan kata lain, tasawuf tidak hanya memuat
dimensi kefanaan yang bersifat teofani, tetapi juga berdimensi profan yang di
dalamnya terdapat kepentingan sesama manusia yang mendunia. Inti dari ketertarikan manusia
modern kepada dunia spiritual (tasawuf) pada dasarnya ingin mencari
keseimbangan baru dalam hidupnya, dan dalam pandangan yang agak eksistensialis,
ingin kembali kepada kemerdekaan manusia yang telah mengalami reduksionisasi
dalam kehidupan modern. Kehidupan dengan perspektif tersebut dapat dicapai
apabila manusia senantiasa melakukan transendensi terus-menerus.
0 komentar:
Posting Komentar
Komentarlah dengan bijak dan bahasa yang santun. NO SARA !