Tasawwuf
tidak boleh dilihat hanya berfungsi sebagai pemenuhan kerohanian manusia.
Tasawwuf sebenarnya berfungsi sebagai penyeimbang kepada keharmonian hidup
manusia. Kemajuan dan pembangunan yang tertumpu pada aspek fisikal dan material
akan melahirkan manusia yang berat sebelah (pincang). Kehidupan modern
yang didominasi oleh falsafah materialisme adalah kehidupan yang kasar, kering,
penuh dengan konflik, kepentingan, permusuhan dan kebencian. Lebih daripada itu
seorang yang materialistik pada kemuncaknya sanggup melakukan perkara yang
tidak etis demi memenuhi tujuannya. Ini menunjukkan bahwa sifat materialistik
(nafsu) telah memenjarakan dan memperhambakan dirinya. Oleh itu, pada
hakikatnya materialisme telah merendahkan martabat manusia menjadi makhluk yang
rendah.
Islam sebagai
panduan hidup manusia, telah memberikan jalan keluar bagi kepincangan dan
ketidakharmonian kehidupan manusia. Solusi yang diberikan oleh Islam adalah
keseimbangan (i‘tidal) antara pembangunan jasmani dan pembangunan rohani,
antara keperluan material dan keperluan spiritual. Walaupun orientalis
tidak membedakan tasawwuf dengan mistisisme, namun jelas bahwa terdapat
perbedaan yang jelas antara tasawwuf dengan mistisisme. Mistisisme, khususnya
yang berkaitan dengan kuasa luar biasa (paranormal) atau ilmu ghaib (occult),
muncul setelah tasawwuf awal diselewengkan oleh beberapa aliran tasawuf. Ibn
Taymiyyah adalah di antara ulama’ yang terang-terangan menentang penyelewengan
kaum sufi di zamannya.
Penilaian
kritis terhadap perkembangan tasawwuf juga dilakukan oleh Ibn Khaldun dalam
karyanya, Muqaddimah. Setelah mengkaji dengan mendalam, Ibn Khaldun
membincangkan perkembangan tasawwuf dengan cukup rinci dan ilmiah termasuk
beberapa penyimpangan yang dilakukan oleh kaum sufi. Beliau menolak pandangan
tokoh-tokoh sufi yang menyebabkan seseorang lari dari dunia. Ibn Khaldun juga
mengatakan bahwa konsep qutb ataupun ra’s al-‘Arifin (maqam yang tertinggi
dalam tatanan sufi) adalah konsep yang tidak berasas sama sekali. Umat
Islam sewajarnya adalah umat pertengahan (ummatan wasatan) di antara umat
Yahudi yang rigid, literal, menumpukan pada aspek perundangan semata (the ten
commandents) dan umat Nasrani yang telah memperkenalkan kerahiban
(rahbaniyyah), meninggalkan dunia demi menyucikan diri.
Sejak awal
Rasulullah s.a.w. telah memperingatkan bahwa dalam Islam tiada kerahiban: la
rahbaniyyata fi al-Islam. Dengan demikian umat Islam terlepas dari satu
keburukan yang terdapat dalam agama lain iaitu bid‘ah kerahiban. Rasulullah
s.a.w. tidak menyetujui orang yang terus menerus beribadah dengan meninggalkan
makan minum, seks dan tidur malam, sebaliknya menyuruh mereka mengikuti sunnah
baginda yang menjalani kehidupan seperti manusia biasa. Disamping itu kekuatan
rohani merupakan bekal yang penting dalam mengarungi kehidupan yang penuh
dengan tantangan. Seseorang yang hanya dibekalkan dengan kekuatan akal akan
rentan kekecewaan dan putus asa, karena tidak semua perkara dapat diselesaikan
dengan kemampuan akal manusia. Hakikatnya, para saintis telah mengakui bahwa
kejayaan seseorang dalam kehidupan bukan saja ditentukan oleh ketinggian IQ
tetapi juga ketinggian EQ (emotional quotient) dan SQ (spiritual quotient) atau
pun oleh sarjana Muslim disebut sebagai kecerdasan rohaniah (transcendental intelligence).
Kecerdasan
rohaniah mampu membekalkan semangat, kekentalan, kesabaran, keikhlasan,
kejujuran, integriti, dsb. Seseorang yang merasakan dirinya dekat dengan Tuhan
akan sentiasa berbuat baik, berbakti kepada masyarakat demi mencapai keridhaan
Sang Kekasih dan mengharapkan ganjaran-Nya di akhirat kelak. Kecerdasan
rohaniah menghasilkan taqwa (self-restrain) yang dapat menghalang seseorang
Muslim daripada melakukan perbuatan maksiat, jahat dan tercela walaupun tiada
pengawasan dan kawalan luaran.
Tasawwuf
tidak memundurkan seseorang. Seseorang yang dekat dengan Allah Swt. adalah
orang yang banyak berbuat dan bukan hanya berharap. Ungkapan yang menggambarkan
keperibadian para sahabat di zaman Rasulullah s.a.w. adalah mereka itu seperti
para rahib di waktu malam dan pasukan berkuda pada waktu siang “ruhbanun fi
al-layl wa fursanun bi al-nahar.” Inilah gambaran sebenar seorang Muslim yang
benar-benar mengikuti ajaran Islam. Seorang yang dekat dengan Tuhan tetapi juga
seorang yang beraksi dan bukan hanya penonton. Seorang Muslim sejati adalah
yang memainkan peranan sebagai aktivis, reformis, pengurus, pentadbir, pemikir,
pendidik dsb. Mereka adalah golongan yang dirasakan akan kehadiran mereka oleh
umat ini dan merasa kehilangan dengan ketiadaan mereka.
0 komentar:
Posting Komentar
Komentarlah dengan bijak dan bahasa yang santun. NO SARA !